Sabtu, 22 Oktober 2016

Santri Ingah Ingih Menistakan Agama


SELAMAT HARI SANTRI 22 OKTOBER
dihari santri ini sy tergelitik membaca sebuah tulisan dari akun fb Saroya Rizkiya Anggi

mari kita simak:

(Santri Ingah Ingih Menistakan Agama)
.
.
.
.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki dan berinteraksi di dunia selain pesantren saya
tidak pernah membayangkan kalau dunia luar bisa semenyeramkan ini. Bukan karena praktek korupsi yang merajalela, pergaulan bebas atau anak-anak yang bertingkah kurang ajar pada orang tua, tapi karena dunia luar ternyata terlalu serius untuk otak saya, itu lebih menakutkan dari apapun. Saya kira dunia luar juga mempunyai selera humor yang sama sehingga kita semua bisa ngopi sambil menertawakan keadaan dunia. Ternyata tidak.
.
Dunia humor yang sangat akrab dengan diri saya ternyata mengumpul di tempat itu,
pesantren. Mungkin si Humor tau dia tidak akan diterima di tempat lain, sehingga dia lebih memilih untuk mengurung diri di sana.
.
Semakin lama di dunia luar, saya mengerti bahwa ada semacam label yang disematkan
pada orang-orang dari pesantren_ walaupun label itu mungkin tak begitu kuat_ label bahwa orang-orang pesantren itu ingah-ingih.
.
Saya akan sedikit menjelaskan kata ingah-ingih yang (mungkin) tidak diketahui artinya
oleh sebagian orang, sekaligus untuk menyamakan persepsi tentang “ingah-ingih” itu. Jadi yang sudah punya persepsi tentang ingah-ingih pun saya harapkan dikosongkan sejenak dan berganti dengan persepsi “ingah-ingih” menurut persepsi saya. Apa itu ingah-ingih? Kata ingah-ingih berasal dari bahasa jawa yang menurut persepsi saya selama ini artinya adalah “cengangas-cengenges”
.
Ada apa dengan ingah-ingih? kenapa saya sampai nekat untuk membahas ingah-ingih ini secara serius? Sebenarnya bukan secara serius juga sih... Saya tergelitik untuk mengangkat tema ini sebenarnya karena keresahan saya sendiri yang kemudian berhasil saya jawab sendiri juga. Saya merasa resah karena kebanyakan lulusan pesantren, terutama pesantren salaf dianggap sebagai orang yang tidak pernah serius. Celele’an, cengengesan, senengange guya guyu, guyon ra ngerti wayah dan komentar-komentar pedas yang lainnya. Sebagai contoh ada peristiwa nyata beberapa tahun yang lalu. Kala itu saya ingat ada teman yang sharing di grup WA
yang isinya suara. Di mana di suara itu ada dua orang anak laki-laki yang mengatakan, “Yaa ampun wetengku luwe,” (Ya ampun perutku lapar) dilagukan seperti ketika orang Qiro’ah atau dengan nazam (Seni membaca Al-Quran). Ketika pertama kali mendengar itu, saya terpingkal-pingkal teringat masa-masa pesantren di mana anak-anak sering sekali melakukan itu. Entah berapa kali suara itu dishare di grup orang hingga kemudian saya mendapat laporan (ciee laporan) bahwa suara itu dianggap sebagai penistaan terhadap Al-Quran. Sampai dijadikan bahan
debat. Saya melongo antara miris dan kasihan.
.
Mari kita luruskan dulu soal itu. Pertama, Saya yakin yang membuat sama sekali tidak
kepikiran untuk menistakan Al-Quran dan cobalah anda mendengar lagi suara itu. Itu bukan suara anak yang asal-asalanan. Dia pasti belajar Qiro’ sebelumnya sehingga punya suara semerdu itu. Dia pasti juga banyak membaca Al-Quran, bahkan mungkin bacaan Al-Qurannya lebih lancar
dari kita. Kedua, saya yakin anak itu adalah anak pesantren, saya tahu itu guyonan khas
pesantren yang mungkin keberadaanya lebih tua dari umur saya. Saya juga paham anak yang melakukan itu kegiatan sehari –harinya dari bangun tidur sampai mau tidur lagi berkutat dengan ajaran agama yang diajar juga oleh para ustadz yang bukan sekedar ustadz-ustadzan. Mana mungkin orang yang bahkan ketika dia menginggau yang keluar ayat Al-Quran dengan sengaja menistakan Al-Quran? Kalau belum terima dengan penjelasan itu, saya akan tambahi penjelasan
lainnya. Alasan yang ketiga. Dia menggunakan bahasa jawa (bukan ayat Al-Quran) dan nazam bukan benar-benar murni hal-hal yang harus diwajibkan ketika kita membaca Al-Quran seperti halnya wudhu (suci dari hadast kecil). Nazam bukan bagian dari Qiroatus sab’ah dan bahkan nazam bukan cabang ilmu Al-Quran yang bersifat syar’i. Nazam diperuntukkan agar bacaan Al-Quran terdengar indah sehingga orang lebih tertarik untuk mendengarkannya. Jadi ketika ada orang yang bahkan tidak menggunakan ayat Al-Quran dan melagukan dengan yang bahkan bukan cabang ilmu Al-Quran yang bersifat syar’i orang-orang bisa semarah itu? Bercanda kami yang kelewatan atau anda yang kurang pengetahuan?
.
Saya sebenernya agak gerah. Sering sekali guyonan kami dianggap sebagai hal yang
merupakan dosa besar.Yang dianggap penistaan agama lah, penistaan Al-Quran, penistaan tempat ibadah dan penistaan-penistaan lain. Humor dan pesantren adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Bayangkan, dari jam tiga pagi bahkan ada juga pesantren yang memulai kegiatan
jam dua malam karena tahajud bersama sampai jam 10 malam (belum kalau ada kegiatan lain). Selama jam itu kami penuh dengan kegiatan belajar, belajar dan belajar. Dari mulai belajar Al-Quran, fiqih, tafsir, nahwu, sorof, dan masih banyak lagi. Kadang ketika UAS sekolah umum datang bebarengan dengan sekolah Diniyah (sekolah yang mempelajari ilmu agama biasanya dilaksaknakan di sore hari) kami harus membagi waktu untuk belajar di tengah kegiatan padat itu dan tidak ada dispensasi. Kebanyakan Pesantren tidak diperbolehkan untuk membawa HP dan Laptop, tidak ada TV. Kami juga tidak diperbolehkan keluar pesantren seenaknya dan tidak diperbolehkan pulang seenaknya. Libur
kami hari jumat berbeda dengan lainnya dan hari libur yang cuma satu hari, itu pun habis kita gunakan untuk membersihkan pondok dan mencuci baju. Kami juga jarang berinteraksi dengan lawan jenis, bahkan sekedar melihat lawan jenis yang bukan Ustadz kita saja, kita harus menunggu genteng bocor. Karena kegiatan itu tidak bisa dilakukan oleh santri putri maka pengurus dengan terpaksa memanggil santri putra untuk membenarkan. Maka dari itu kadang tukang benerin gentenglah, santri putra yang paling terkenal di kalangan santri putri.
.
Dari semua kegiatan yang seabrek itu ditambah waku refresing yang hampir tidak bisa dilakukan. Bagaimana para santri bisa terus hidup dan tetap waras sampai sekarang? Bahkan ketika sekarang saya mengingat masa-masa di pesantren dulu dan padatnya kegiatan yang saya lakukan saya heran bagaimana saya bisa tetap bertahan sampai 6 tahun di sana, sedangkan
kegiatan saya sekarang yang tidak begitu banyak terkadang membuat saya begitu tertekan. Setelah keluar dari Pesantren barulah saya paham bahwa “guyonan” lah salah satu hal yang membuat kami bisa melalui semuanya. Kami membuat lelucon sepanjang waktu untuk melepaskan setres, untuk mengurangi depresi yang kami rasakan. Karena kami tidak tahu apa yang terjadi di luar dan apa yang sedang ngetren di luar, kami membuat lelucon dengan
bahan-bahan yang kita pelajari setiap hari dan pelajaran itu adalah pelajaran seperti nahwu dan shorof, Fiqih dan pelajaran agama lainnya. Kadang kita membuat puisi dari bahan Nahwu seperti contoh, “Aku tidak ingin seperti Fi’il Madzi yang hanya terpakau pada masa lampau,” kadang kami memlesetkan kata seperti , “Al-ilmu Nurun” arti yang “Nurun” yang sebenarnya cahaya
diplesetkan menjadi Nurun dalam artian bahasa jawa yang artinya menyontek.
.
Guyonan bagi kami juga bukan sekedar guyonan. Candaan adalah pelipur lara, pencair suasana. Kadang candaan merupakan sebuah kritik bagi kami. Cara kami menyampaikan protes agar lawan kami tidak tersinggung. Guyonan juga merupakan keseriusan bagi kami. Maka itulah Presiden Abdurrahman Wahid yang merupakan orang pesantren itu terkenal dengan candaan
beliau dan sikap beliau yang seolah meremehkan segala sesuatu. Padahal melemparkan candaan bagi kami tidak sama dengan meremehkan, melemparkan candaan untuk suatu permasalahan tanda bahwa kami memikirkan permasalahan tersebut lebih dalam dari pada orang-orang. Mana mungin ada yang bisa membuat candaan pada suatu permasalahan dengan candaan yang ngejleb kalau tidak benar-benar tahu secara mendalam apa masalahnya?
.
Ketika kami bercanda terhadap sesuatu, karena kami berada di lingkungan yang sama, kami sama-sama tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus ditanggapi sampai membuka tafsir Al-Quran mana yang perlu di tanggapi dengan tertawa ngakak. Kami tahu candaan mana yang merupakan kritik candaan mana yang hanya untuk nyelekit.
.
Kami benar-benar tidak bermaksud untuk memperainkan agama kami. Jangankan
mempermainkan agama dan bersikap kurang aja terhadap agama, melawan ustadz kami saja kami takut setengah mati. Bahkan bangku guru di depan yang mana murid sekolah lain dengan santai mendudukinya kami anggap sebagai pohon beringin. Keramat dan bisulan tujuh turunan kalau
dengan sengaja mendudukinya. Haram diduduki karena termasuk su’ul adab (perilaku buruk) jika menduduki bangku guru. Kalau kami tidak sengaja membuat Ustadz kami marah, kami dengan sadar diri berkunjung ke rumahnya dengan perasaan amat takut dan rasa bersalah, membawa buah tangan untuk meminta maaf kepada beliau tak jarang sambil nangis-nangis,
karena kami percaya ketika guru kami tidak ridho maka ilmu kami tidak akan bermanfaat sampai mati. Bagaimana mungkin kami sengaja menistakan agama?
.
Sebenarnya, sikap orang-orang yang sensitif itu ditambah dengan pemahaman dangkal
tentang apa yang kami bicarakan yang membuat otak orang-orang mengolah candaan tersebut sebagai penistaan yang sebenarnya membuat agama kita ternoda. Saya tidak mengingkari ada beberapa candaan yang memang salah (dari lahir) tapi sebagian besar permasalahan timbul
karena maksud candaan kami tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang pengetahuannya tidak sama dengan kami. Kadang saya juga sampai sakit hati kalau ada orang pesantren yang tidak punya selera humor. Makanya tolonglah jangan ditelan mentah-mentah semua yang kami katakan. Seberapa berat urusan hidup kalian sampai selera humor kalian menghilang? Dahimu
terus saja berkerut kayak baju yang gak pernah disetrika, dan hatimu selalu penuh curiga pada kami, dan banyak-banyaklah ngopi dengan kami agar tahu bagaimana maksud candaan kami. Jangan cuma tahu kata Google doang. Jangan terlalu sensitif. Orang sensitif membuat sebuah senyum pun dianggap sebagai sinyal ajakan perang. Guyonan bagi kami adalah bentuk penyembuhan, jadi tolonglah jangan menggiring kami seserius kalian. Kalian mengerikan.
.
Ncen ok terah… saya anggap kekacauan dan peperangan umat beragama ini sebagian
besar karena orangnya kurang guyon njuk kakehan mangan berita hoax. Ya Alloh… jangan cabut selera humor dari bumi ini.
###########################
(judul dan inti tulisan ini sebenarnya sudah saya buat sejak tahun 2015 tapi saya baru
menyelesaikannya sekarang T_T sudah ada di laptop dari dulu sampek njamur. Saya mengingat bahwa hari ini adalah hari spesial dan saya menyelesaikan tulisan yang sudah satu tahun mangkrak ini dalam rangka memperingati hari Santri Nasional. Saya gak bisa memberikan apa-apa, nggambar ra iso dan belum ada hal yang membanggakan juga, satu-satu yang saya bisa adalah membuat tulisan curhatan kayak gini. Tulisan ini, pertama saya persembahkan untuk
pondok Pesantren Darul Huda Mayak Tonatan Ponorogo (baik Kyiai, ustadz maupun pengurusnya) yang telah membuat masa remaja saya benar-benar indah. Semoga tidak malu mengakui saya sebagai salah satu alumninya. Yang kedua persembahan spesial untuk para Kyiai para ulama yang sudah meninggal maupun masih sugeng terutama untuk KH. Hasim Asy’ari, kalian benar-benar mahkluk yang mulia, terimakasih atas bimbingannya. Dan yang terakhir untuk teman-teman nyantri terimakasih atas interaksi yang terjalin selama enam tahun ini, tanpa kalian saya benar-benar tidak bisa sampai di titik yang sekarang.) Selamat Hari Santri Nasional semuanya. Pondokku Keren!)
Salam hormat saya : Saroya Rizkiya Anggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar